Balada Thrift Shopping

Najwa Awliya R.
2 min readMay 23, 2022

--

Sumber: http://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/30/images-5fc413e48ede481c6e6e2c92.jpeg

Topik kali ini masih berhubungan dengan tulisan Serba-serbi Fast Fashion karena menurutku kedua hal ini dapat digabung menjadi satu pembahasan.

Apakah benar thrifting itu menjadi salah satu solusi dari maraknya fast fashion yang beredar di masyarakat? Secara logika dengan kita melakukan thrifting, kita dapat meminimalisir dampak yang diberikan dari fast fashion seperti secara tidak langsung kita dapat mengurangi limbah tekstil karena mendaur ulang atau preloved pakaian yang sudah tidak digunakan kemudian dapat dijual dengan harga yang lebih murah.

Contohnya thrift store yang ada di Jakarta seperti di Pasar Baru dan Pasar Senen, di Bandung pun juga ada seperti Pasar Gedebage. Awalnya banyak orang yang belum mengetahui kalau tempat-tempat tersebut ternyata sekarang malah jadi surganya para generasi muda buat berburu baju bekas dengan harga yang bisa dikatakan miring, ditambah terdapat baju-baju bekas yang merupakan brand kelas atas. Peminat masyarakat terhadap thrifting pun meningkat setiap tahunnya.

Karena peminatnya semakin meningkat, para penjual pun tidak mau rugi dan mereka pun terkadang mengambil keuntungan secara besar-besaran. Normalnya dengan thrifting kita bisa mendapatkan sehelai pakaian dengan harga di bawah 100 ribu. Namun, banyak ditemukan di media sosial (toko thrift online) mereka mengambil keuntungan yang sangat besar dengan menjualnya bisa-bisa di atas 150 bahkan 200 ribu. Sistem yang diterapkan oleh toko thrift online ini memblokir akses mendapatkan pakian yang tersedia untuk masyarakat bawah. Ditambah kebanyakan dari toko tersebut mengambil semua pakaian bagus, sehingga konsep awal dari thrifting itu sendiri jadi hilang.

Namun, thrifting sendiri masih ada pro dan kontranya tersendiri. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, thrifting menjadi salah satu cara untuk mengatasi fast fashion. Akan tetapi, di toko-toko thrift masih sering ditemukan pakaian bekas bermerk fast fashion. Hal ini sangat kontradiktif dengan anggapan bahwa dengan thrifting dapat mengatasi permasalahan dari fast fashion.

Selain itu, dengan maraknya thrifting dapat meningkatkan konsumsi impulsif. Maksudnya, banyak konsumen yang membeli karena harganya murah tanpa mempertimbangkan kegunaan barang yang telah mereka beli. Dengan alasan mereka membeli barang bekas atau thrifting karena murah dan trendy tanpa memikirkan apakah mereka betul-betul akan menggunakan barang tersebut. Hal ini malah tidak menyelesaikan masalah yang sudah disebabkan oleh fast fashion.

Satu-satunya cara untuk mengatasi semua permasalahan ini adalah kita harus memutus rantai konsumerisme karena pada dasarnya baik membeli barang baru ataupun bekas tetap merupakan proses konsumsi. Kita juga perlu membatasi diri dan perlu menyadari apa yang sebetulnya menjadi kebutuhan dan bukan keinginan.

--

--